Gas Tanker Handling & Stowage
Gas - gas yang dicairkan yang diangkut menggunakan kapal laut dapat dibagi atas :
1. Liquid Petroleum Gas ( LPG )
2. Liquid Natural Gas ( LNG )
A. L P G ( Liquid Petoleum Gas ) :
Cairan gas ini merupakan campuran dari unsur - unsur petroleum hydrocarbon, yang terdiri semata - mata atas Prophane dan Buthane. Namun gas - gas kimia hasil ikutan dari industri petroleum,
seperti Ammonia Hidroksida ( NH ), Vinyl Chloride Monomen ( VCM ), Ethylene dan lain - lain kadang - kadang juga diangkut dengan kapal laut.
Gas - gas tersebut diatas diangkut dengan kapal laut dalam bentuk cairan. Untuk mencairkannya dapat dilakukan dengan salah satu cara berikut :
1. Dibawah tekanan pada temperatur Ambient ( sekitarnya ).
2. Didinginkan penuh ( i. a. pada titik didihnya ) pada suhu antara ( - ) 30° C dan ( - ) 48° C, kecuali Ethylene yang mempunyai titik didih sekitar ( - ) 104 ° C (kemudian diturunkan suhunya).
3. kombinasi dari keduanya ( yaitu ditekan dan diturunkan suhunya ) (semi refrigrated )
Untuk pemuatannya, Petroleum gas dicairkan dengan cara ( umumnya ) diturunkan suhunya didarat sesuai dengan suhu yang dikehendaki. Kapal - kapal LPG dapat menurunkan sendiri atau mempertahankan suhu sehingga ( - ) 50° C . Gas - gas yang terjadi selama operasi ini (dan selama pelayaran dapat dicairkan kembali oleh system pencairan sendiri di kapal.
Suhu yang rendah harus dipertahankan selama proses pemuatan dan pengangkutan.
Nama Titik didih B.J. Gas Cair
Propane - 42,3 C 0,583
Butane - 0,5 C 0,602
Carrying Weight : Summer 45° C & Winter 32° C .............................Max 97 % of loading capacity
1. Hal - hal yang harus diperhatikan sebelum muat :
- Bila ada gas LPG mendekati Lover Exploxive Limit ( dalam vol % : 2,2 % - 9,5 % ) berikan ventilasi dengan CO2.
- Berisi sekeliling tangki, Compressor, LPG pump.
- Pasang bounding wire sebelum menghubungkan selang.
- Tutup pintu - pintu, jendela - jendela dari kamar - kamar di deck.
- Jangan ada pekerjaan yang menimbulkan panas.
- Matikan power supply yang non - anti explosive electric current.
- Jalankan G.S. Pump.
- Siapkan slang - slang kebakaran dan portable extinguishers.
- Periksa Emergency Shut Off Valves.
- Periksa Safety Valve dari tangki
- Periksa Pressure Gauge, Thermometer
- Periksa earthing antara tangki dan selang ( Pipe line )
2. Hal - hal yang harus diperhatikan selama muat :
- Muat jangan lebih dari 97 % dari Loading Capacity dengan suhu harus dibawah 45° C.
- Radio station kapal jangan digunakan.
- Periksa kemungkinan kebocoran
- Jangan sampai cerobong kapal mengeluarkan api.
3. Larangan memuat pada keadaan sebagai berikut :
- Electric Storm ( Badai Petir )
- Disekitar ada kapal yang sedang akan merapat atau melepaskan diri dari dermaga.
- Disekitar ada kebakaran
- Bila keadaansuhu demikian rupa, sehingga permukaan LPG didalam tangki tidak bisa dibaca.
4. P e m u a t a n :
- Dilakukan dengan atau kompressor dari darat.
Hubungan Vapour Line dan Liquid Line darat dengan Vapour Line dan Liquid Line dari kapal.
- LPG Pump dan Compressor kapal jangan digunakan.
- Liquid LPG masuk kapal melalui Liquid Line dan Vapour yang terdesak dari tangki kembali kedarat melalui Vapour line.
- Selesai muat tutup semua Valve. Emergency Shut - Off Valves.
- Bersihkan dengan ventilasi semua alat - alat, jangan sampai masih ada gas LPG yang tertinggal.
5. Pembongkaran :
- Dilakukan dengan kompressi dari kapal; juga dengan LPG pump kapal.
- Pressurised Vapour yang dihasilkan oleh kompressor yang diambil dari darat atau dari tangki yang belum dibongkar, dikompresikan ke tangki yang akan dibongkar melalui Vapour - Line. Liquid LPG mengalir melalui Liquid Line kedarat.
- Bila memakai LPG Pump, Liquid akan mengalir dulu ke pompa dan kemudian di booster ke darat.
- Selesai membongkar, tutup semua valves, Emergency Shunt Off Valve.
- Sebelum Bounding Wire Off, lepas dulu hose.
- Bersihkan dengan ventilasi alat - alat yang digunakan, jangan sampai ada LPG gas yang tertinggi.
6. Yang harus dicatat selama memuat / membongkar :
- Waktu mulai memuat / membongkar
- Waktu menghubungkan / melepaskan hose.
- Saturated Vapour LPG sebelum memuat / membongkar
- Suhu udara
- Waktu start pompa / kompressor
- Suhu dengan Vapour pressure dalam tangki.
- Tekanan hisap dengan tekanan Delivery dan Capasitas pompa.
- Waktu selesai muat / bongkar.
7. Yang harus diperhatikan selama Pelayaran :
- Suhu selalu dibawa 45 C
- Tekanan Vapour selalu dibawah 17,6 kg/cm G.
- Selalu check dengan gas detector adanya kebocoran - kebocoran.
- Jangan ada perubahan - perubahan keadaan seperti setelah muat ( vaives dan lain - lain ).
- Adanya api dari cerobong.
Membersihkan tangki LPG :
- Masukkan gas N 2 keadaan tangki melalui liguid - pine.
- Hisap keluar dengan kompressor gas N 2 yang telah bercampur dengan LPG.
- Buang campuran gas N 2 dengan LPG melalui pipa ditiang.
- Bila LPG < 2 %, boleh bercampur dengan udara.
- Buka lubang tangki dan periksa 0 2 sebelum orang masuk.
- Jangan dekatkan LPG dan Vapour pada benda - benda yang panas ( bahaya kebakaran ).
B. L. N. G ( Liquid Natural Gas ) :
Gas cair ini, utamanya Ethane dan Methane, tidak dapat dapat dicairkan hanya dengan tekanan saja. Karena itu diangkut pada suhu yang amat rendah dibawah titik nol . Ethane ( - ) 104 Djt C dan Methane ( - ) 165 Djt C, dan dibawah tekanan.
Nama Titik didih B.J. Gas Cair
Methane - 161,5 C 0,474
Ethane - 104 0,547
Selanjutnya cara pemuatan dan lain - lain sama dengan LPG ( Bedanya hanya pada proses pencairannya )
http://kapalku.blogspot.com/2009/09/gas-tanker-handling-stowage.html
Sejarah Propeller (Baling-baling Kapal)
Baling-baling pertama kali dibuat di Inggris pada tahun 1680 oleh HOOKE. Kemudian sekitar tahun 1804 di Amerika, seorang yang bernama Colonel Stevens mencoba menggunakan baling-baling pada kapalnya yang mempunyai panjang 7,5 meter. Pada tahun 1828, Russel berhasil pula membuat sebuah baling-baling untuk dipasang pada sebuah kapal yang berukuran 60 feet yang pada saat itu dapat mencapai kecepatan sekitar 6 knot. Tetapi keberhasilan ini belum mendapat perhatian dari sarjana-sarjana Aus-tria dan para pemilik kapal lainnya.
Akhirnya pada tahun 1836, seorang yang bernama PETTITSMITH dari Inggris mencoba sebuah baling baling ciptaannya yang dipasang pada sebuah kapal kayu berukuran 6 ton dengan mesin penggerak sebesar 6 HP yang percobaan pertamanya ini dilaku-kan di Paddington Canal. Pada percobaan tersebut kapal PETTITSMITH menabrak kapal lain yang sedang tambat di tepi kanal dan tabrakan ini telah mengakibatkan patahnya sebagian dari baling-ba-lingnya, tetapi dengan patahnya sebagian baling-baling tersebut secara tidak disangka kapalnya melaju lebih cepat. Sehingga dari kejadian tersebut Smith dapat menyempurnakan baling-baling buatannya dengan lebih baik lagi.
Sejak penggunaan pertama kali sampai dengan sekarang, baling-baling sebagai alat penggerak kapal berkembang secara tahap demi tahap. Walaupun demikian saat ini baling-baling merupakan alat peng-gerak kapal mekanis yang paling banyak digunakan untuk kapal-kapal dari segala ukuran dan jenisnya.
Sejak saat itu telah banyak dilakukan penelitian dan pengembangan dari baling-baling untuk lebih me-ningkatkan unjuk kerja dan effisiensi baling-baling. Seperti kita ketahui baling-baling merupakan alat penggerak kapal yang paling effisien dibanding dengan alat penggerak lainnya, seperti water jet, roda kemudi dan voith scheneider propeller. Walaupun demikian masih dilakukan beberapa percobaan untuk lebih meningkatkan efisiensi dari baling-baling jenis sekerup ini (screw propeller).
Terdapat berbagai macam jenis propeller kapal yang dapat digunakan, terutama untuk kapal dengan ber-bagai tipe dan bentuk, mulai dari penggunaan angin (layar), tenaga manusia (dayung), dan sejak ber-kembangnya penggunaan motor uap, mulai ber-kembang penggunaan roda dayung, kemudian dengan ditemukannya motor diesel penggunaan roda dayung bergeser ke penggunaan propeller. Untuk pening-katan kecepatan ada kalanya menggunakan motor jet, motor listrik, dan sebagainya.
Jenis Kapal Di bedakan Dari Bahan Pembuatannya
Kapal Dibedakan Dari Bahan Utamanya terdiri dari :
1. Kapal Kayu
2. Kapal Baja
3. Kapal Fiberglass (FRP)
4. Kapal Ferrocement
5. Kapal Aluminium
6. Kapal Composit
7. Kapal Bantalan Udara (ACV)
• Kapal Kayu adalah kapal yang semua konstruksinya terbuat dari kayu, ada juga kapal kayu yang rumah kemudi–nya (Wheel House) menggunakan bahan alumunium. Kapal kayu biasanya dibangun untuk melakukan penagkapan ikan dan transportasi. Kapal kayu memiliki ukuran serta displasemen yang relatif kecil tetapi memiliki daya apung lebih tinggi dibanding kapal baja
• Kapal Baja adalah kapal yang bahan utamanya terbuat dari baja, baja dan besi sama–sama logam tetapi perbedaannya terletak pada kadar karbonnya. Baja memiliki kadar karbon rendah (sekitar 1.5 %) sehingga apabila dibandingkan dengan besi, baja memiliki kekutan yang lebih tinggi. Baja juga lebih tahan terhadap korosi dibanding besi, sehingga pada saat ini kapal baja menjadi kapal yang banyak dibangun dengan beragam jenis dan fungsi. Apalagi pada proses penyambungan didukung dengan adanya teknologi pengelasan yang sangat mudah dan efisien serta memiliki kekuatan setara dengan logam induknya
• Kapal Fibergas adalah kapal yang bahan utamanya dibuat dari bahan fiberglass yang diperkuat oleh plastik. Kapal FRP (Fiberglass–Reinforced Plastic) memiliki ukuran relatif kecil dan biasanya digunagan untuk wisata danau atau sungai, ada juga untuk menagkap ikan (memancing). FRP memiliki berat yang cukup ringan dan mudah perawatannya, sehingga banyak digunakan untuk perahu cepat (Fast Boat) dan sekoci pada kapal–kapal penumpang
• Kapal Ferrocement adalah kapal yang bahan utamanya terbuat dari beton (concrete) atau campuran dari semen, pasir dan air. kerangka–kerangnya terbuat dari kawat. kapal ferrocement memiliki berat jenis yang besar sehingga daya apungnya kecil, karena itu kapal ini ditinggalkan penggunaanya
• Kapal Aluminium adalah kapal yang bahan utamanya terbuat dari aluminium. Tujuan dari penggunaan alumunium sebagai bahan utamanya adalah untuk meringankan berat badan kapal sehingga kapal dapat melaju dengan cepat. Kapal alumunium biasanya digunakan untuk patroli angkatan laut (navy), bea cukai (custom) dan polisi perairan (police) generasi kapal aluminium untuk TNI ANGKATAN LAUT yang telah dibangun di salah satu galangan kapal di Indonesia, PT. PAL INDONESIA adalah diantaranya : dari satuan Kapal Ranjau TNI–AL : KRI SINGA – 651, KRI AJAK – 653, dari satuan Kapal Patroli TNI–AL : KRI PANDRONG – 801, KRI SURA – 802, KRI TODAK – 803, KRI HIU – 804, KRI LAYANG – 805, KRI LEMADANG – 806, KRI KAKAP – 811, KRI KERAPU – 812, KRI TONGKOL – 813, KRI BARAKUDA – 814
• Kapal Composit adalah kapal yang bahannya terdiri dari beberapa macam tujuannya untuk memamfaatkan keutamaan dari bahan tersebut. Contoh kapal laminasi adalah kapal yang berlambung kayu, berdasar baja dan pada bangunan atasnya menggunakan bahan alumunium. Fungsi dari alumunium adalah untuk meringankan berat badan kapal, sedangkan fungsi dari kayu pada lambung untuk memberikan daya apung yang tinggi. Sedangkan penggunaan baja pada dasar kapal adalah untuk memberikan kekuatan pada kapal apabila terjadi benturan dengan karang
• Kapal Bantalan Udara adalah kapal yang lambungnya terbuat dari bantalan udara atau semacam bahan karet yang berisi udara bertekanan. Istilah–nya ACV atau (Air Cushion Vehicle) istilah lain juga menyebutkan hovercraft. Fungsi dari lambung karet adalah untuk memberikan daya apung yang besar, sehingga sarat kapal semakin kecil. Untuk tipe ini biasanya menggunakan penggerak jet turbin yang berada di bagian atas, dengan itu hovercrat mampu berjalan di perairan yang dangkal dan rawa–rawa bahkan pantai
1. Kapal Kayu
2. Kapal Baja
3. Kapal Fiberglass (FRP)
4. Kapal Ferrocement
5. Kapal Aluminium
6. Kapal Composit
7. Kapal Bantalan Udara (ACV)
• Kapal Kayu adalah kapal yang semua konstruksinya terbuat dari kayu, ada juga kapal kayu yang rumah kemudi–nya (Wheel House) menggunakan bahan alumunium. Kapal kayu biasanya dibangun untuk melakukan penagkapan ikan dan transportasi. Kapal kayu memiliki ukuran serta displasemen yang relatif kecil tetapi memiliki daya apung lebih tinggi dibanding kapal baja
• Kapal Baja adalah kapal yang bahan utamanya terbuat dari baja, baja dan besi sama–sama logam tetapi perbedaannya terletak pada kadar karbonnya. Baja memiliki kadar karbon rendah (sekitar 1.5 %) sehingga apabila dibandingkan dengan besi, baja memiliki kekutan yang lebih tinggi. Baja juga lebih tahan terhadap korosi dibanding besi, sehingga pada saat ini kapal baja menjadi kapal yang banyak dibangun dengan beragam jenis dan fungsi. Apalagi pada proses penyambungan didukung dengan adanya teknologi pengelasan yang sangat mudah dan efisien serta memiliki kekuatan setara dengan logam induknya
• Kapal Fibergas adalah kapal yang bahan utamanya dibuat dari bahan fiberglass yang diperkuat oleh plastik. Kapal FRP (Fiberglass–Reinforced Plastic) memiliki ukuran relatif kecil dan biasanya digunagan untuk wisata danau atau sungai, ada juga untuk menagkap ikan (memancing). FRP memiliki berat yang cukup ringan dan mudah perawatannya, sehingga banyak digunakan untuk perahu cepat (Fast Boat) dan sekoci pada kapal–kapal penumpang
• Kapal Ferrocement adalah kapal yang bahan utamanya terbuat dari beton (concrete) atau campuran dari semen, pasir dan air. kerangka–kerangnya terbuat dari kawat. kapal ferrocement memiliki berat jenis yang besar sehingga daya apungnya kecil, karena itu kapal ini ditinggalkan penggunaanya
• Kapal Aluminium adalah kapal yang bahan utamanya terbuat dari aluminium. Tujuan dari penggunaan alumunium sebagai bahan utamanya adalah untuk meringankan berat badan kapal sehingga kapal dapat melaju dengan cepat. Kapal alumunium biasanya digunakan untuk patroli angkatan laut (navy), bea cukai (custom) dan polisi perairan (police) generasi kapal aluminium untuk TNI ANGKATAN LAUT yang telah dibangun di salah satu galangan kapal di Indonesia, PT. PAL INDONESIA adalah diantaranya : dari satuan Kapal Ranjau TNI–AL : KRI SINGA – 651, KRI AJAK – 653, dari satuan Kapal Patroli TNI–AL : KRI PANDRONG – 801, KRI SURA – 802, KRI TODAK – 803, KRI HIU – 804, KRI LAYANG – 805, KRI LEMADANG – 806, KRI KAKAP – 811, KRI KERAPU – 812, KRI TONGKOL – 813, KRI BARAKUDA – 814
• Kapal Composit adalah kapal yang bahannya terdiri dari beberapa macam tujuannya untuk memamfaatkan keutamaan dari bahan tersebut. Contoh kapal laminasi adalah kapal yang berlambung kayu, berdasar baja dan pada bangunan atasnya menggunakan bahan alumunium. Fungsi dari alumunium adalah untuk meringankan berat badan kapal, sedangkan fungsi dari kayu pada lambung untuk memberikan daya apung yang tinggi. Sedangkan penggunaan baja pada dasar kapal adalah untuk memberikan kekuatan pada kapal apabila terjadi benturan dengan karang
• Kapal Bantalan Udara adalah kapal yang lambungnya terbuat dari bantalan udara atau semacam bahan karet yang berisi udara bertekanan. Istilah–nya ACV atau (Air Cushion Vehicle) istilah lain juga menyebutkan hovercraft. Fungsi dari lambung karet adalah untuk memberikan daya apung yang besar, sehingga sarat kapal semakin kecil. Untuk tipe ini biasanya menggunakan penggerak jet turbin yang berada di bagian atas, dengan itu hovercrat mampu berjalan di perairan yang dangkal dan rawa–rawa bahkan pantai
PERATURAN TUBRUKAN KAPAL DI PERAIRAN PEDALAMAN
PERATURAN TUBRUKAN KAPAL DI PERAIRAN PEDALAMAN
(Reglement ter voorkoming van aanvaring of aandrijving op de rivieren en binnenwateren in Indonesiƫ).
S.1914-226.
BAB I. KETENTUAN-KETENTUAN UMUM.
Pas. 1. Dalam peraturan ini yang diartikan dengan:
“kapal uap”: tiap kendaraan air yang digerakkan dengan tenaga uap (tenaga mekanik);
“kapal layar”: tiap kendaraan air yang menggunakan layar dan tidak sekaligus digerakkan dengan tenaga mekanik;
“kendaraan air”: tiap kapal, kendaraan air, dok, tongkang dan alat pengangngkutan air demikian;
“jalur pelayaran sempit”: tiap jalur pelayaran, yang lebarnya dapat dilayari kurang dari 125 m;
“bunyi lanjut”: tiap isyarat bunyi kuat yang lamanya sedikit-dikitnya 5 detik;
“bunyi pendek”: tiap isyarat bunyi kuat yang lamanya setinggi-tingginya 2 detik;
“perairan pedalaman”: danau-danau, terusan-terusan dan pelabuhan-pelabuhan buatan;
“siang hari”: waktu antara matahari terbit dan matahari terbenam;
“malam hari”: waktu antara matahari terbenam dan matahari terbit.
Pasal 2.
(1) Peraturan ini berlaku bagi semua sungai dan perairan pedalaman di Indonesia, termasuk gerbang-gerbang dari laut di mana diletakkan anak pelampung atau rambu.
(2) Gerbang-gerbang dari laut di mana tidak diletakkan anak pelampung atau rambu termasuk daerah laut; berlaku di daerah itu. ketentuan-ketentuan Peraturan Tubrukan di Laut
(3) Ketentuan-ketentuan peraturan ini tidak berlaku bagi sungai-sungai atau perairan-perairan pedalaman tertentu, atau bagiannya, yang ditunjuk oleh Menteri.
Pasal 3.
(1) Di mana saja, jika dalam peraturan ini kepada kendaraan air dikenakan kewajiban-kewajiban, maka nakhoda atau yang menggantinya bertanggung jawab atas pelaksanaan kewajiban itu.
(2) Pada waktu melaksanakan peraturan ini nakhoda-nakhoda harus memperlihatkan syarat-syarat kecakapan pelaut yang baik, bila dalam keadaan-keadaan yang khusus, melakukan tindakan-tindakan yang menyimpang dari ketetapanketetapan yang tercantum di dalamnya.
Pasal 4.
Kecuali pejabat-pejabat, yang berdasarkan ketetapan-ketetapan undang-undang berwenang untuk itu, maka dengan pengusutan pelanggaran-pelanggaran peraturan ini ditugaskan perwira-perwira Angkatan Laut, nakhoda-nakhoda kapal-kapal Direktorat Jenderal Perhubungan laut, Syahbandar-syahbandar ahli dan pandu-pandu.
BAB II. KETENTUAN-KETENTUAN TENTANG PEMASANGAN LAMPU LAMPU DAN SEBAGAINYA.
Pasal 5.
Ketentuan-ketentuan tentang pemasangan lampu-lampu dan sebagainya yang tercantum dalam Peraturan Tubrukan di Laut, kecuali penyimpanganpenyimpangan yang disebut di dalam pasal-pasal 6-9 di bawah ini berlaku juga terhadap sungai-sungai dan perairan-perairan pedalaman yang dimaksud dalam peraturan ini.
Pasal 6.
(1) Kapal-kapal uap, yang isi kotomya kurang dari 113,2 M3, jika sedang berlayar, tidak perlu memasang lampu-lampu, seperti yang ditetapkan bagi kapal-kapal berukuran sama yang digunakan dalam pelayaran di laut. Tetapi jika tidak memasang lampu-lampu itu, kapal-kapal itu harus memasang lampu-lampu berikut:
a. lampu puncak putih di atas tajuk sekoci, setidak-tidaknya berada di atas lampu-lampu samping yang berwarna hijau dan merah atau di atas lentera kombinasi sebagai gantinya; dan
b. jika melakukan pekerjaan tunda, lampu puncak putih kedua pada jarak tidak kurang dari 0,5 m dan tidak lebih dari 1 m bersusun vertikal satu sama lain di atas lampu puncak tersebut pada a.
(2) Kendaraan-kendaraan air yang lain dari kapal-kapal uap dan isi kotornya berukuran kurang dari 56,6 m3, bila ini mengenai tongkang yang panjangnya kurang dari 30 m, jika sedang berlayar, harus memperlihatkan lentera yang memanearkan cahaya putih yang terang dari tempat yang mudah kelihatan dari tempat sekitamya.
(3) Kapal-kapal nelayan yang sedang menangkap ikan, harus memasang lampu putih yang dimaksud dalam ayat di atas.
(4) Sekoci-sekoci dayung tidak perlu memasang lampu putih tersebut dalam ayat (2), tetapi diwajibkan menyediakan lentera yang siap untuk dipakai, yang memancarkan cahaya putih terang yang sudah menyala di bawah di dalam sekoci atau di selubungi, yang pada saat didekati oleh kapal lain, harus diperlihatkan pada waktunya dan di tempat yang mudah kelihatan.
Pasal 7.
(1) Kendaraan-kendaraan air yang bersandar, harus memasang lampu putih, dengan kekuatan nyala dan cara penempatan yang sama seperti diharuskan bagi kapal-kapal berlabuh yang panjangnya kurang dari 45 m.
(2) Menyimpang dari ketentuan dalam ayat tersebut di atas, kendaraan-kendaraan air yang ada di tempat sandar, tempat bongkar muat atau di jalur pelayaran, di mana pelayarannya dirintangi, yang diberi penerangan baik, tidak diharus kan memasang lampu-tampu.
Pasal 8.
(1) Kendaraan-kendaraan air yang kandas di jalur pelayaran atau yang tidak dapat bergerak dengan sempurna, sejauh mengenai kapal-kapal uap, harus memasang sebagai pengganti lampu puncak putih, dua lampt: merah yang bersusun vertikal satu sama lain, yang mudah kelihatan daii tempat sekitamya. Pada siang hari harus diperbhatkan dua bulatan berwama hitam atau tanda-tanda yang bersusun vertikal satu sama lain.
(2) Kendaraan-kendaraan air yang lain dari kapal-kapal uap yang isi kotornya berukuran kurang dari 56,6 m3, kalau hal ini mengenai tongkang, jika panjangnya kurang dari 30 m, dalam keadaan-keadaan yang disebut dalam ayat di atas, pada malam hari harus memperlihatkan lampu putih seperti dimaksud dalam pasal 7 ayat (1) dan pada siang hari harus memberikan tanda dengan bendera putih.
Pasal 9.
(1) Tongkang yang panjangnya 30 m atau lebih, dan lebarnya kurang dari 6 m, yang sedang berlayar atau berhenti, kecuali jika teriadi keadaan seperti dimaksud dalam pasal 7 ayat (2), harus memasang lampu putih yang terang pada malam hari yang kelihatan ke daerah sekitarnya pada jarak sedikit-dikitnya 1 mil laut (dari 60 dalam l0), ditempatkan di ujung depan dan ujung belakang, pada ketinggian yang sama.
Tongkang yang sama panjangnya seperti disebut di atas, tetapi lebarnya 6 m atau lebih, dalam keadaan seperti disebut di atas, harus memasang lampu putih yang terang pada sisi kiri dan kanan dari ujung depan dan belakang, dengan demikian terdapat seluruhnya empat lampu putih yang ditempatkan pada ketinggian yang sama.
(2) Kapal-kapal pengisap lumpur, kapal-kapal keruk dan kapal-kapal kerja, jika sedang bekerja di atau dekat jalur pelayaran, harus memasang isyarat-isyarat seperti berikut:
a. jika jalur pelayaran hanya bebas pada satu sisi, maka pada sisi yang bebas itu, sejauh mungkin di luar bagian tengah kapal, pada siang hari dua bulatan hitam dengan garis-tengah sekurang-kurangnya 0,5 dan sebesar-besarnya 0,80 m, bersusun vertikal satu sama lain dengan jarak antara sekurang-kurangnya 0,50 dan sebesar-besarnya I m, bulatan terendah sedikit-dikitnya 3 m di atas badan kapal dan pada malam hari lampu merah dan kira-kira 1 m di bawahnya lampu putih, serendah-rendahnya 3 m dan setinggi-tingginya 6 m di atas badan kapal dan kecuali itu pada sisi jalur pelayaran yang tidak bebas sejauh mungkin di luar bagian tengah kapal, pada siang hari satu bulatan hitam dengan ukuran dan pada ketinggian yang sama dengan bulatan hitam teratas pada sisi lain itu, dan pada malam hari lampu merah pada ketinggian yang sama dengaii lampu merah pada sisi lain itu;
b. jika jalur pelayaran bebas pada dua sisi, maka pada tiap sisi, sejauh mungkin di luar bagian tengah kapal, pada siang hari dua butatan hitam dan pada malam hari lampu merah dengan di bawahnya lampu putih, segala sesuatu seperti diterangkan pada a;
c. jika jalur pelayaran tidak bebas pada dua sisi, maka pada siang hari pada tiap sisi satu bulatan hitam dan pada malam hari lampu merah pada ketinggian yang sama dengan bulatan hitam dan lampu merah teratas seperti disebut pada a.
Kecuali itu kapal-kapal tersebut, baik yang sedang berlayar, maupun yang sedang berhenti, harus memasang isyarat-isyarat yarkg ditentukan dalam peraturan ini bagi kapal-kapal yang ukuran dan jenisnya sama (S. 1940-129.)
(3) Kapal-kapal keruk, kapal-kapal kerja dan kapal-kapal demikian harus menandai semua jangkar, yang dilabuhkan di atau dekat jalur pelayaran dengan tong biru atau pelampung, pada malam hari dengan lampu yang menyala terang. Kewajiban ini, sejauh mengenai jangkar-jangkar sisi, dikenakan kepada semua kendaraan air yang melabuhkan jangkar-jangkar demikian di atau dekat jalur pelayaran (S. 1940-129.)
(4) Kerangka-kerangka kapal yang dapat menimbulkan bahaya bagi pelayaran, selekas mungkin oleh nakhodanya atau jika ia melalaikan hal ini, oleh Pemerintah atas biaya nakhoda tersebut, diberi tanda, dengan menempatkan rambu di atasnya yang selalu ada di atas permukaan air di atas atau dekat kerangka itu, pada siang hari bendera putih dan pada malam hari lentera bercahaya putih yang terang (Peraturan Tubrukan Kapal di Perairan Pedalaman pasal 20; Peraturan Bandar S. 1924-500 pasal 17).
BAB III. KETENTUAN KETENTUAN TENTANG KECEPATAN, MENYIMPANG, ISYARAT-ISYARAT BERLABUH DAN SEBAGAINYA.
Pasal 10.
Tiap kendaraan air selama berlayar diwajibkan mengadakan pengintaian jarak jauh, jika mungkin dari puncak tiang.
Pasal 11.
Jika disebabkan oleh kabut, hujan, tumbuh-tumbuhan tepi yang tinggi atau sebab-sebab lain sehingga penglihatan baik terhalang, maka kendaraan air itu menurut keadaan harus mengurangi keeepatannya atau berhenti.
Jika sedang berlayar, kapal harus memberikan isyarat-isyarat bunyi berikut:
a. kapal uap membunyikan satu bunyi lanjut dengan selang waktu tidak melebihi 2 menit, dan jika menunda kendaraan air atau tidak dapat bergerak dengan baik, membunyikan satu bunyi lanjut dengan selang waktu tidak melebihi 2 menit diikuti oleh dua bunyi pendek;
b. kapal layar yang isi kotornya berukuran 56,6 M3 atau lebih, membunyikan dengan selompret-kabut bunyi-bunyi pendek dengan selang waktu pendek atau memberitahukan kedatangannya dengan pemukulan gong;
c. kapal layar yang isi kotomya berukuran kurang dari 56,6 M3 dan tongkang, memukul gong atau membuat gaduh dengan cara lain.
(2) Pada waktu cuaca berkabut tebal, kapal-kapal layar dan tongkang dilarang berlayar, dan kapal-kapal uap tidak boleh berlayar melebihi kecepatan yang diperlukan untuk mengemudikan kapal.
(3) Kapal-kapal uap yang,berlabuh atau bersandar, kapal-kapal layar yang isi kotomya berukuran 56,6 M3 atau lebih dan tongkang yang panjangnya 30 m atau lebih, pada waktu cuaca berkabut tebal, baik pada siang hari maupun pada malam hari dan selanjutnya jika mendengar isyarat-isyarat bunyi dari kendaraan air lain yang mendekatinya, harus sedikit-dikitnya tiap menit membunyikan lonceng atau memukul gong atau membunyikan isyarat bunyi demikian. Bagi kendaraan lainnya dalam keadaan itu cukup dengan membuat gaduh, untuk menyatakan tentang kehadirannya.
Pasal 12.
(1) Di bagian-bagian yang lurus dari jalur pelayaran, jika hal ini dapat dilaksanakan dan dilakukan dengan aman, tiap kapal harus berlayar pada sisi jalur pelayaran yang ada di sisi kanannya.
Kapal uap di jalur pelayaran sempit boleh berlayar dengan kecepatan maksimum 7 mil laut, yang pada waktu terdapat arus dengan kekuatan luar biasa, harus dikurangi sampai 5 mil laut.
(2) Kendaraan air yang sedang bertayar, jika satu sama lain bertemu dengan haluan yang berlawanan, hingga akan terjadi bahaya tubrukan, maka untuk mencegah bahaya tersebut, kedua kapal harus menyimpang ke kanan dan melewati satu sama lain pada sisi kiri. Tetapi jika kendaraan air yang ditunda dari darat, bertemu dengan kendaraan air lain, yang tidak ditunda demikian dengan haluan yang berlawanan, maka kendaraan air yang ditunda berlayar di sebelah dalam dari kendaraan air yang tidak ditunda.
(3) Jika haluan-haluan dua kapal uap satu sama lain memotong sedemikian, sehinggajika bertahan tetap pada haluan-haluan itu dapat menimbulkan bahaya tubrukan, maka kapal uap yang melihat kapal uap lainnya di sisi kanannya, harus menyimpang.
(4) Jika kapal uap dan kapal layar mendekat satu sama lain dalam keadaarkkeadaan seperti dimaksud dalam ayat terdahulu, maka kapal uap harus tnenyimpang untuk kapallayar.
(5) Jika dua kapal layar mendekat satu sama lain dalam keadaan seperti dimaksud dalam ayat (3), maka kapal-kapal tersebut harus menaati aturan-aturan berikut:
a. kapal, yang berlayar dengan kekuatan penuh angin harus menyimpang untuk kapal layar yang berlayar dengan hanya sebagian dari kekuatan angin;
b. kapal layar yang mendapat angin dari sisi depan (haluan) harus menyimpang untuk kapal layar yang mendapat angin dari sisi belakang (buritan);
c. jika kedua kapal layar berlayar dengan kekuatan angin penuh, tetapi angin masuk dari sisi yang berlainan, maka kapal yang mendapat angin dari sisi kiri harus menyimpang untuk kapal yang mendapat angin dari sisi kanan;
d. jika kedua kapal layar berlayar dengan kekuatan angin penuh dan angin masuk dari sisi yang sama maka kapal layar yang berlayar dengan dorongan angin harus menyimpang untuk kapal yang berlayar melawan angin;
e. kapal layar yang berlayar dengan kekuatan angin dari belakang, harus menyimpang untuk tiap kapal layar lain.
Pasal 13.
(1) Kapal-kapal uap yang mendekati tikungan, harus membunyikan satu bunyi lanjut dengan selang waktu pendek, sedangkan kapal-kapal layar dan tongkang memberitahukan tentang kedatangannya dengan membunyikan lonceng kapat terus-menerus atau memukul gong atau membuat gaduh dengan cara lain.
(2) Kapal uap yang berlayar berlawanan dengan arah arus, pada waktu mendengar isyarat bunyi seperti dimaksud dalam ayat tersebut di atas, yang dibunyikan oleh kapal uap yang berlayar menurut arah arus, jika ada di dekat tikungan, sedapat mungkin harus tetap berlayar di sebelah hilir tikungan itu dan jika perlu mengurangi kecepatan atau berhenti, agar belokan yang besar bebas bagi kapal yang berlayar mengikuti arah arus.
Dalam keadaan ini kapal-kapal uap tersebut harus masing-masing membunyikan isyarat suling untuk memberitahukan sisi mana dari jalur pelayaran yang akan mereka gunakan, sampai kapal-kapal tersebut berpapasan satu sama lain dengan aman.
(3) Kapal uap yang berlayar menurut arah arus, pada waktu mengambil tikungan harus berlayar dengan kecepatan yang tidak melebihi yang diperlukan untuk mengemudikan kapal dengan baik, dan senantiasa harus berlayar dengan kecepatan yang tidak melebihi yang diperlukan untuk mengemudikan kapal dengan baik, dan senantiasa harus menyediakanjangkar-cemat yang siap untuk diturunkan di buritan.
Jika ada bahaya akan mengakibatkan kerusakan, kapal harus segera berhenti, jika perlu bergerak mundur dan harus beriabuh dengan jangkar-cemat, sampai kapal dapat berlayar terus dengan aman.
(4) Kapal-kapal uap yang isi kotomya berukuran kurang dari 30 m3 dan kapal-kapal uap yang menunda satu kendaraan air atau lebih, dibebaskan dari ketentuan dalam ayat tersebut di atas; tetapi kendaraan air yang ditunda harus menyediakanjangkar-cemat, untuk mencegah tubrukan dengan kapal yang menunda, jika kapal ini sekonyong-konyong terpaksa berhenti atau kandas.
(5) Kendaraan air yang lain dari kapal-kapal uap, jika ada di dekat tikungan, pada waktu didekati oleh kapal uap dari jurusan yang berlawanan, sebanyak diperlukan dan secepat-cepatnya mendekati daratan di sekitar tikungan itu, dan selama tidak ditambat pada daratan, pada malam hari harus memperlihatkan obor yang menyala terang pada sisi belokan jalur pelayaran.
(6) Jika dua kendaraan air yang lain dari kapal-kapal uap mendekat satu sama lain di dekat tikungan dari jurusan yang berlawanan, maka kendaraan air yang berlayar berlawanan dengan arus, harus bertindak menurut cara yang ditentukan dalam ayat tersebut di atas.
(7) Jika tidak ada arus atau hampir tidak ada arus, dalam penerapan pasal ini, kendaraan air yang menghilir dianggap sebagai berlayar mengikuti arah arus.
Pasal 14.
(1) Tiap kendaraan air yang menyusul kendaraan air lain, harus menyimpang untuk yang disusul.
(2) Jika dua kendaraan air berlayar dengan arah yang sama maka kendaraan air yang satu hanya boleh melalui yang lain, jika pada bagian yang lurus dari jalur pelayaran hal demikian dapat dilakukan tanpa adanya kemungkinan akan terjadi kerusakan dan kendaraan air yang datang dari arah yang berlawanan, tidak akan mendapat rintangan karenanya.
(3) Kendaraan air yang menyusul kendaraan air lain dan hendak melaluinya, pada jarak sedikit-dikitnya 200 m memberitahukan maksudnya dengan tandatanda, panggilan atau dengan bunyi lanjut. Jika perlu isyarat ini diulangi.
(4) Untuk melalui kendaraan air, kapal-kapal uap senantiasa harus menunggu, sampai kendaraan air yang disebut terdahulu telah memberi ruang cukup, untuk melaluinya tanpa kemungkinan terjadi kerusakan.
(5) Pada waktu melalui kendaraan air yang lambung-timbulnya rendah atau rumah-rumah kampung yang letaknya di luar garis tepi, kapal uap sebanyak mungkin mengurangi kecepatannya, sampai kendaraan air atau rumah-rumah dimaksud telah dapat dilewati.
(6) Kapal uap harus melalui kapal uap atau kapal layar pada sisi kirinya.
(7) Kapal layar harus melalui kendaraan air, yang dilalui pada sisi dorongan angin.
(8) Jika kendaraan air yang disusul dan yang harus dilalui ditunda dari darat, maka kendaraan air yang ditunda berlayar di sebelah dalam dari kendaraan air yang melalui.
(9) Pada waktu menyusul dan akan melalui kendaraan air yang ditunda dari darat oleh kendaraan air lain yang demikian juga, maka kendaraan air yang akan melalui, berlayar di sebelah dalam dan kendaraan air yang dilalui harus mengendurkan talinya pada waktu yang tepat.
(10) Kendaraan air yang disusul diwajibkan memberi ruang cukup pada kendaraan air yang menyusul dan jika menggunakan layar, menurut keadaan mengurangi kecepatannya.
Pasal 15.
(1) Dilarang menghanyutkan kendaraan air dengan arus, jika kendaraan air itu pada tiap saat yang dikehendaki tidak dapat dikemudikan,
(2) Di jalur pelayaran, di mana ada kabel telegram atau kabel telepon, maka pada waktu arus kuat atau banjir, kendaraan air yang isi kotornya berukuran lebih dari 11,32 M3 yang hanyut dengan arus, harus menggunakan jangkar garuk.
Pasal 15a.
Dicabut dg. S. 1939-544.
Pasal 16.
(1) Tiap kendaraan air, yang diwajibkan menyimpang untuk kendaraan air lain, jika keadaan mengizinkan, harus menghindari berlayar memotong haluan dekat kendaraan air lain itu.
(2) Tiap kapal uap yang menurut ketentuan-ketentuaii peraturan ini diwajibkan menyimpang untuk kendaraan air lain, bila mendekatinya, jika perlu, harus mengurangi kecepatan, berhenti atau mundur.
(3) Ketentuan yang ditetapkan dalam ayat tersebut di alas tidak berlaku bagi kendaraan air yang menunda.
Pasal 17.
(1) Kapal-kapal uap yang melihat pada saat saling mendekat satu sama lain kemungkinan bahaya tubrukan, dapat menunjukkan tempat kapal itu sedang bergerak dengan isyarat-isyarat berikut:
satu bunyi pendek berarti: “saya menyimpang ke kanan”.
dua bunyi pendek berarti: “saya menyimpang ke kiri”.
tiga bunyi pendek berarti: “saya mundur dengan daya penuh”.
Pasal 18.
(1) Kapal-kapal uap yang menunda satu atau beberapa kendaraan air harus menggunakan tah penarik yang pendek, danjika kapal-kapal itu datang dari laut, kabel-kabel penariknya harus dipendekkan.
(2) Tiap kendaraan air yang ditunda, diharuskan dengan hati-hati mengemudikan kapal itu untuk dapat menghindari penyimpangan dari arah yang ditentukan.
(3) Menunda kendaraan air di samping hanya dibolehkan dalam jalur pelayaran yang sempit, bila keadaan memang mengizinkan; pada tiap sisi hanya boleh ditarik satu kendaraan air. Untuk hal ini harus diusahakan, agar lampu-lampu kapal yang menunda jelas kelihatan. Bila hal itu tidak mungkin, dapat digunakan lentera-lentera dari dari kapal-kapal yang ditunda.
(4) Kapal uap harus mematikan mesinnya pada waktu masuk dari pinggiran atau menghindari kapal-kapal lain masuk ke laut.
Pasal 19.
(1) Dilarang menempatkan sauh di tengah jalur pelayaran pada tikungan atau jalur pelayaran yang sempit, kecuali dalam hal seperti disebutkan dalam pasal 13 ayat (3).
(2) Kendaraan air yang terpaksa menempatkan sauhnya pada tikungan atau jalur pelayaran yang sempit, harus menjaga supaya tidak membuang barang muatan atau menggunakan kabel-kabel untuk menghindari gerakan yang bolakbalik, dan sedapat mungkin memberikan tempat dijalur pelayaran bagi kendaraan air yang akan berlalu.
(3) Dalam hal tidak menaati ketentuan dalam ayat (1), harus dibuktikan perlunya berlabuh di tempat-tempat yang dilarang, untuk dapat dibebaskan dari tuntutan hukum.
Pasal 20.
Kendaraan air yang tenggelam dan benda-benda pada umumnya, yang ditempatkan di jalur pelayaran, yang menghalang-halangi lalu-lintas pelayaran, jika tidak diangkat oleh mereka dalam batas-batas waktu yang telah ditentukan oleh Pemerintah, diangkat atau disingkirkan oleh Pemeiintah atas biaya pemilik-pemilik. (Peraturan Tubrukan Kapal di Perairan Pedalaman pasal 9; Peraturan Bandar S. 1924-500 pasal 17.)
Pasal 21.
(1) Sejauh mengenai hal ini tidak ada ketentuan-ketentuan lain yang berlaku, maka di tiap kendaraan air yang berlabuh atau ditambat pada pelampung-pelampung, sedikit-dikitnya setengah dari awak kapal harus ada dan di tiap kendaraan air yang dikeringkan atau seluruhnya ditambat di daratan, sedikit-dikitnya satu pelayar atau nakhoda harus ada di kendaraan air untuk menjaganya. (S. 1924-501.)
(2) Ketentuan ini tidak berlaku bagi kendaraan air yang isi kotornya berukuran kurang dari 2,83 m3 dan bagi kendaraan air yang ditambat pada atau yang dikeringkan di tempat sendiri yang dijaga.
Pasal 22.
Dilarang membunyikan isyarat-isyarat bunyi dalain keadaan-keadaan lain dari yang ditentukan atau diizinkan menurut undang-undang.
BAB IV. KETENTUAN-KETENTUAN HUKUMAN.
Pasal 23.
Ayat (1), (2), (3) tidak berlaku lagi.
Pasal 24.
(1) Nakhoda atau orang yang menggantinya tidak dapat dihukum jika ternyata, bahwa ia telah melakukan semua yang mungkin, baik untuk menaati ketentuan-ketentuan peraturan ini, maupun untuk mencegah akibat-akibat pelanggaran ketentuan-ketentuan itu.
(2) Tidak berlaku dengan dihapuskannya pasal 23.
KETENTUAN-KETENTUAN PENUTUP.
Pasal 25.
Isi peraturan ini tidak menghalang-halangi pelaksanaan dari ketentuan-ketentuan khusus, sehubungan dengan pelayaran di pelabuhan-pelabuhan, sungai-sungai dan perairan-perairan pedalaiman atau bagian-bagiannya, yang diboat atau akan dibuat oleh pejabat-pejabat setempat yang berkuasa (Peraturan Tubrukan di Laut pasal 31).
Pasal 26.
Peraturan ini disebut dengan nama “Peraturan Tubrukan Kapal di Perairan Pedalaman”.
Ditetapkan pada tanggal 22 Februari 1914.
(Reglement ter voorkoming van aanvaring of aandrijving op de rivieren en binnenwateren in Indonesiƫ).
S.1914-226.
BAB I. KETENTUAN-KETENTUAN UMUM.
Pas. 1. Dalam peraturan ini yang diartikan dengan:
“kapal uap”: tiap kendaraan air yang digerakkan dengan tenaga uap (tenaga mekanik);
“kapal layar”: tiap kendaraan air yang menggunakan layar dan tidak sekaligus digerakkan dengan tenaga mekanik;
“kendaraan air”: tiap kapal, kendaraan air, dok, tongkang dan alat pengangngkutan air demikian;
“jalur pelayaran sempit”: tiap jalur pelayaran, yang lebarnya dapat dilayari kurang dari 125 m;
“bunyi lanjut”: tiap isyarat bunyi kuat yang lamanya sedikit-dikitnya 5 detik;
“bunyi pendek”: tiap isyarat bunyi kuat yang lamanya setinggi-tingginya 2 detik;
“perairan pedalaman”: danau-danau, terusan-terusan dan pelabuhan-pelabuhan buatan;
“siang hari”: waktu antara matahari terbit dan matahari terbenam;
“malam hari”: waktu antara matahari terbenam dan matahari terbit.
Pasal 2.
(1) Peraturan ini berlaku bagi semua sungai dan perairan pedalaman di Indonesia, termasuk gerbang-gerbang dari laut di mana diletakkan anak pelampung atau rambu.
(2) Gerbang-gerbang dari laut di mana tidak diletakkan anak pelampung atau rambu termasuk daerah laut; berlaku di daerah itu. ketentuan-ketentuan Peraturan Tubrukan di Laut
(3) Ketentuan-ketentuan peraturan ini tidak berlaku bagi sungai-sungai atau perairan-perairan pedalaman tertentu, atau bagiannya, yang ditunjuk oleh Menteri.
Pasal 3.
(1) Di mana saja, jika dalam peraturan ini kepada kendaraan air dikenakan kewajiban-kewajiban, maka nakhoda atau yang menggantinya bertanggung jawab atas pelaksanaan kewajiban itu.
(2) Pada waktu melaksanakan peraturan ini nakhoda-nakhoda harus memperlihatkan syarat-syarat kecakapan pelaut yang baik, bila dalam keadaan-keadaan yang khusus, melakukan tindakan-tindakan yang menyimpang dari ketetapanketetapan yang tercantum di dalamnya.
Pasal 4.
Kecuali pejabat-pejabat, yang berdasarkan ketetapan-ketetapan undang-undang berwenang untuk itu, maka dengan pengusutan pelanggaran-pelanggaran peraturan ini ditugaskan perwira-perwira Angkatan Laut, nakhoda-nakhoda kapal-kapal Direktorat Jenderal Perhubungan laut, Syahbandar-syahbandar ahli dan pandu-pandu.
BAB II. KETENTUAN-KETENTUAN TENTANG PEMASANGAN LAMPU LAMPU DAN SEBAGAINYA.
Pasal 5.
Ketentuan-ketentuan tentang pemasangan lampu-lampu dan sebagainya yang tercantum dalam Peraturan Tubrukan di Laut, kecuali penyimpanganpenyimpangan yang disebut di dalam pasal-pasal 6-9 di bawah ini berlaku juga terhadap sungai-sungai dan perairan-perairan pedalaman yang dimaksud dalam peraturan ini.
Pasal 6.
(1) Kapal-kapal uap, yang isi kotomya kurang dari 113,2 M3, jika sedang berlayar, tidak perlu memasang lampu-lampu, seperti yang ditetapkan bagi kapal-kapal berukuran sama yang digunakan dalam pelayaran di laut. Tetapi jika tidak memasang lampu-lampu itu, kapal-kapal itu harus memasang lampu-lampu berikut:
a. lampu puncak putih di atas tajuk sekoci, setidak-tidaknya berada di atas lampu-lampu samping yang berwarna hijau dan merah atau di atas lentera kombinasi sebagai gantinya; dan
b. jika melakukan pekerjaan tunda, lampu puncak putih kedua pada jarak tidak kurang dari 0,5 m dan tidak lebih dari 1 m bersusun vertikal satu sama lain di atas lampu puncak tersebut pada a.
(2) Kendaraan-kendaraan air yang lain dari kapal-kapal uap dan isi kotornya berukuran kurang dari 56,6 m3, bila ini mengenai tongkang yang panjangnya kurang dari 30 m, jika sedang berlayar, harus memperlihatkan lentera yang memanearkan cahaya putih yang terang dari tempat yang mudah kelihatan dari tempat sekitamya.
(3) Kapal-kapal nelayan yang sedang menangkap ikan, harus memasang lampu putih yang dimaksud dalam ayat di atas.
(4) Sekoci-sekoci dayung tidak perlu memasang lampu putih tersebut dalam ayat (2), tetapi diwajibkan menyediakan lentera yang siap untuk dipakai, yang memancarkan cahaya putih terang yang sudah menyala di bawah di dalam sekoci atau di selubungi, yang pada saat didekati oleh kapal lain, harus diperlihatkan pada waktunya dan di tempat yang mudah kelihatan.
Pasal 7.
(1) Kendaraan-kendaraan air yang bersandar, harus memasang lampu putih, dengan kekuatan nyala dan cara penempatan yang sama seperti diharuskan bagi kapal-kapal berlabuh yang panjangnya kurang dari 45 m.
(2) Menyimpang dari ketentuan dalam ayat tersebut di atas, kendaraan-kendaraan air yang ada di tempat sandar, tempat bongkar muat atau di jalur pelayaran, di mana pelayarannya dirintangi, yang diberi penerangan baik, tidak diharus kan memasang lampu-tampu.
Pasal 8.
(1) Kendaraan-kendaraan air yang kandas di jalur pelayaran atau yang tidak dapat bergerak dengan sempurna, sejauh mengenai kapal-kapal uap, harus memasang sebagai pengganti lampu puncak putih, dua lampt: merah yang bersusun vertikal satu sama lain, yang mudah kelihatan daii tempat sekitamya. Pada siang hari harus diperbhatkan dua bulatan berwama hitam atau tanda-tanda yang bersusun vertikal satu sama lain.
(2) Kendaraan-kendaraan air yang lain dari kapal-kapal uap yang isi kotornya berukuran kurang dari 56,6 m3, kalau hal ini mengenai tongkang, jika panjangnya kurang dari 30 m, dalam keadaan-keadaan yang disebut dalam ayat di atas, pada malam hari harus memperlihatkan lampu putih seperti dimaksud dalam pasal 7 ayat (1) dan pada siang hari harus memberikan tanda dengan bendera putih.
Pasal 9.
(1) Tongkang yang panjangnya 30 m atau lebih, dan lebarnya kurang dari 6 m, yang sedang berlayar atau berhenti, kecuali jika teriadi keadaan seperti dimaksud dalam pasal 7 ayat (2), harus memasang lampu putih yang terang pada malam hari yang kelihatan ke daerah sekitarnya pada jarak sedikit-dikitnya 1 mil laut (dari 60 dalam l0), ditempatkan di ujung depan dan ujung belakang, pada ketinggian yang sama.
Tongkang yang sama panjangnya seperti disebut di atas, tetapi lebarnya 6 m atau lebih, dalam keadaan seperti disebut di atas, harus memasang lampu putih yang terang pada sisi kiri dan kanan dari ujung depan dan belakang, dengan demikian terdapat seluruhnya empat lampu putih yang ditempatkan pada ketinggian yang sama.
(2) Kapal-kapal pengisap lumpur, kapal-kapal keruk dan kapal-kapal kerja, jika sedang bekerja di atau dekat jalur pelayaran, harus memasang isyarat-isyarat seperti berikut:
a. jika jalur pelayaran hanya bebas pada satu sisi, maka pada sisi yang bebas itu, sejauh mungkin di luar bagian tengah kapal, pada siang hari dua bulatan hitam dengan garis-tengah sekurang-kurangnya 0,5 dan sebesar-besarnya 0,80 m, bersusun vertikal satu sama lain dengan jarak antara sekurang-kurangnya 0,50 dan sebesar-besarnya I m, bulatan terendah sedikit-dikitnya 3 m di atas badan kapal dan pada malam hari lampu merah dan kira-kira 1 m di bawahnya lampu putih, serendah-rendahnya 3 m dan setinggi-tingginya 6 m di atas badan kapal dan kecuali itu pada sisi jalur pelayaran yang tidak bebas sejauh mungkin di luar bagian tengah kapal, pada siang hari satu bulatan hitam dengan ukuran dan pada ketinggian yang sama dengan bulatan hitam teratas pada sisi lain itu, dan pada malam hari lampu merah pada ketinggian yang sama dengaii lampu merah pada sisi lain itu;
b. jika jalur pelayaran bebas pada dua sisi, maka pada tiap sisi, sejauh mungkin di luar bagian tengah kapal, pada siang hari dua butatan hitam dan pada malam hari lampu merah dengan di bawahnya lampu putih, segala sesuatu seperti diterangkan pada a;
c. jika jalur pelayaran tidak bebas pada dua sisi, maka pada siang hari pada tiap sisi satu bulatan hitam dan pada malam hari lampu merah pada ketinggian yang sama dengan bulatan hitam dan lampu merah teratas seperti disebut pada a.
Kecuali itu kapal-kapal tersebut, baik yang sedang berlayar, maupun yang sedang berhenti, harus memasang isyarat-isyarat yarkg ditentukan dalam peraturan ini bagi kapal-kapal yang ukuran dan jenisnya sama (S. 1940-129.)
(3) Kapal-kapal keruk, kapal-kapal kerja dan kapal-kapal demikian harus menandai semua jangkar, yang dilabuhkan di atau dekat jalur pelayaran dengan tong biru atau pelampung, pada malam hari dengan lampu yang menyala terang. Kewajiban ini, sejauh mengenai jangkar-jangkar sisi, dikenakan kepada semua kendaraan air yang melabuhkan jangkar-jangkar demikian di atau dekat jalur pelayaran (S. 1940-129.)
(4) Kerangka-kerangka kapal yang dapat menimbulkan bahaya bagi pelayaran, selekas mungkin oleh nakhodanya atau jika ia melalaikan hal ini, oleh Pemerintah atas biaya nakhoda tersebut, diberi tanda, dengan menempatkan rambu di atasnya yang selalu ada di atas permukaan air di atas atau dekat kerangka itu, pada siang hari bendera putih dan pada malam hari lentera bercahaya putih yang terang (Peraturan Tubrukan Kapal di Perairan Pedalaman pasal 20; Peraturan Bandar S. 1924-500 pasal 17).
BAB III. KETENTUAN KETENTUAN TENTANG KECEPATAN, MENYIMPANG, ISYARAT-ISYARAT BERLABUH DAN SEBAGAINYA.
Pasal 10.
Tiap kendaraan air selama berlayar diwajibkan mengadakan pengintaian jarak jauh, jika mungkin dari puncak tiang.
Pasal 11.
Jika disebabkan oleh kabut, hujan, tumbuh-tumbuhan tepi yang tinggi atau sebab-sebab lain sehingga penglihatan baik terhalang, maka kendaraan air itu menurut keadaan harus mengurangi keeepatannya atau berhenti.
Jika sedang berlayar, kapal harus memberikan isyarat-isyarat bunyi berikut:
a. kapal uap membunyikan satu bunyi lanjut dengan selang waktu tidak melebihi 2 menit, dan jika menunda kendaraan air atau tidak dapat bergerak dengan baik, membunyikan satu bunyi lanjut dengan selang waktu tidak melebihi 2 menit diikuti oleh dua bunyi pendek;
b. kapal layar yang isi kotornya berukuran 56,6 M3 atau lebih, membunyikan dengan selompret-kabut bunyi-bunyi pendek dengan selang waktu pendek atau memberitahukan kedatangannya dengan pemukulan gong;
c. kapal layar yang isi kotomya berukuran kurang dari 56,6 M3 dan tongkang, memukul gong atau membuat gaduh dengan cara lain.
(2) Pada waktu cuaca berkabut tebal, kapal-kapal layar dan tongkang dilarang berlayar, dan kapal-kapal uap tidak boleh berlayar melebihi kecepatan yang diperlukan untuk mengemudikan kapal.
(3) Kapal-kapal uap yang,berlabuh atau bersandar, kapal-kapal layar yang isi kotomya berukuran 56,6 M3 atau lebih dan tongkang yang panjangnya 30 m atau lebih, pada waktu cuaca berkabut tebal, baik pada siang hari maupun pada malam hari dan selanjutnya jika mendengar isyarat-isyarat bunyi dari kendaraan air lain yang mendekatinya, harus sedikit-dikitnya tiap menit membunyikan lonceng atau memukul gong atau membunyikan isyarat bunyi demikian. Bagi kendaraan lainnya dalam keadaan itu cukup dengan membuat gaduh, untuk menyatakan tentang kehadirannya.
Pasal 12.
(1) Di bagian-bagian yang lurus dari jalur pelayaran, jika hal ini dapat dilaksanakan dan dilakukan dengan aman, tiap kapal harus berlayar pada sisi jalur pelayaran yang ada di sisi kanannya.
Kapal uap di jalur pelayaran sempit boleh berlayar dengan kecepatan maksimum 7 mil laut, yang pada waktu terdapat arus dengan kekuatan luar biasa, harus dikurangi sampai 5 mil laut.
(2) Kendaraan air yang sedang bertayar, jika satu sama lain bertemu dengan haluan yang berlawanan, hingga akan terjadi bahaya tubrukan, maka untuk mencegah bahaya tersebut, kedua kapal harus menyimpang ke kanan dan melewati satu sama lain pada sisi kiri. Tetapi jika kendaraan air yang ditunda dari darat, bertemu dengan kendaraan air lain, yang tidak ditunda demikian dengan haluan yang berlawanan, maka kendaraan air yang ditunda berlayar di sebelah dalam dari kendaraan air yang tidak ditunda.
(3) Jika haluan-haluan dua kapal uap satu sama lain memotong sedemikian, sehinggajika bertahan tetap pada haluan-haluan itu dapat menimbulkan bahaya tubrukan, maka kapal uap yang melihat kapal uap lainnya di sisi kanannya, harus menyimpang.
(4) Jika kapal uap dan kapal layar mendekat satu sama lain dalam keadaarkkeadaan seperti dimaksud dalam ayat terdahulu, maka kapal uap harus tnenyimpang untuk kapallayar.
(5) Jika dua kapal layar mendekat satu sama lain dalam keadaan seperti dimaksud dalam ayat (3), maka kapal-kapal tersebut harus menaati aturan-aturan berikut:
a. kapal, yang berlayar dengan kekuatan penuh angin harus menyimpang untuk kapal layar yang berlayar dengan hanya sebagian dari kekuatan angin;
b. kapal layar yang mendapat angin dari sisi depan (haluan) harus menyimpang untuk kapal layar yang mendapat angin dari sisi belakang (buritan);
c. jika kedua kapal layar berlayar dengan kekuatan angin penuh, tetapi angin masuk dari sisi yang berlainan, maka kapal yang mendapat angin dari sisi kiri harus menyimpang untuk kapal yang mendapat angin dari sisi kanan;
d. jika kedua kapal layar berlayar dengan kekuatan angin penuh dan angin masuk dari sisi yang sama maka kapal layar yang berlayar dengan dorongan angin harus menyimpang untuk kapal yang berlayar melawan angin;
e. kapal layar yang berlayar dengan kekuatan angin dari belakang, harus menyimpang untuk tiap kapal layar lain.
Pasal 13.
(1) Kapal-kapal uap yang mendekati tikungan, harus membunyikan satu bunyi lanjut dengan selang waktu pendek, sedangkan kapal-kapal layar dan tongkang memberitahukan tentang kedatangannya dengan membunyikan lonceng kapat terus-menerus atau memukul gong atau membuat gaduh dengan cara lain.
(2) Kapal uap yang berlayar berlawanan dengan arah arus, pada waktu mendengar isyarat bunyi seperti dimaksud dalam ayat tersebut di atas, yang dibunyikan oleh kapal uap yang berlayar menurut arah arus, jika ada di dekat tikungan, sedapat mungkin harus tetap berlayar di sebelah hilir tikungan itu dan jika perlu mengurangi kecepatan atau berhenti, agar belokan yang besar bebas bagi kapal yang berlayar mengikuti arah arus.
Dalam keadaan ini kapal-kapal uap tersebut harus masing-masing membunyikan isyarat suling untuk memberitahukan sisi mana dari jalur pelayaran yang akan mereka gunakan, sampai kapal-kapal tersebut berpapasan satu sama lain dengan aman.
(3) Kapal uap yang berlayar menurut arah arus, pada waktu mengambil tikungan harus berlayar dengan kecepatan yang tidak melebihi yang diperlukan untuk mengemudikan kapal dengan baik, dan senantiasa harus berlayar dengan kecepatan yang tidak melebihi yang diperlukan untuk mengemudikan kapal dengan baik, dan senantiasa harus menyediakanjangkar-cemat yang siap untuk diturunkan di buritan.
Jika ada bahaya akan mengakibatkan kerusakan, kapal harus segera berhenti, jika perlu bergerak mundur dan harus beriabuh dengan jangkar-cemat, sampai kapal dapat berlayar terus dengan aman.
(4) Kapal-kapal uap yang isi kotomya berukuran kurang dari 30 m3 dan kapal-kapal uap yang menunda satu kendaraan air atau lebih, dibebaskan dari ketentuan dalam ayat tersebut di atas; tetapi kendaraan air yang ditunda harus menyediakanjangkar-cemat, untuk mencegah tubrukan dengan kapal yang menunda, jika kapal ini sekonyong-konyong terpaksa berhenti atau kandas.
(5) Kendaraan air yang lain dari kapal-kapal uap, jika ada di dekat tikungan, pada waktu didekati oleh kapal uap dari jurusan yang berlawanan, sebanyak diperlukan dan secepat-cepatnya mendekati daratan di sekitar tikungan itu, dan selama tidak ditambat pada daratan, pada malam hari harus memperlihatkan obor yang menyala terang pada sisi belokan jalur pelayaran.
(6) Jika dua kendaraan air yang lain dari kapal-kapal uap mendekat satu sama lain di dekat tikungan dari jurusan yang berlawanan, maka kendaraan air yang berlayar berlawanan dengan arus, harus bertindak menurut cara yang ditentukan dalam ayat tersebut di atas.
(7) Jika tidak ada arus atau hampir tidak ada arus, dalam penerapan pasal ini, kendaraan air yang menghilir dianggap sebagai berlayar mengikuti arah arus.
Pasal 14.
(1) Tiap kendaraan air yang menyusul kendaraan air lain, harus menyimpang untuk yang disusul.
(2) Jika dua kendaraan air berlayar dengan arah yang sama maka kendaraan air yang satu hanya boleh melalui yang lain, jika pada bagian yang lurus dari jalur pelayaran hal demikian dapat dilakukan tanpa adanya kemungkinan akan terjadi kerusakan dan kendaraan air yang datang dari arah yang berlawanan, tidak akan mendapat rintangan karenanya.
(3) Kendaraan air yang menyusul kendaraan air lain dan hendak melaluinya, pada jarak sedikit-dikitnya 200 m memberitahukan maksudnya dengan tandatanda, panggilan atau dengan bunyi lanjut. Jika perlu isyarat ini diulangi.
(4) Untuk melalui kendaraan air, kapal-kapal uap senantiasa harus menunggu, sampai kendaraan air yang disebut terdahulu telah memberi ruang cukup, untuk melaluinya tanpa kemungkinan terjadi kerusakan.
(5) Pada waktu melalui kendaraan air yang lambung-timbulnya rendah atau rumah-rumah kampung yang letaknya di luar garis tepi, kapal uap sebanyak mungkin mengurangi kecepatannya, sampai kendaraan air atau rumah-rumah dimaksud telah dapat dilewati.
(6) Kapal uap harus melalui kapal uap atau kapal layar pada sisi kirinya.
(7) Kapal layar harus melalui kendaraan air, yang dilalui pada sisi dorongan angin.
(8) Jika kendaraan air yang disusul dan yang harus dilalui ditunda dari darat, maka kendaraan air yang ditunda berlayar di sebelah dalam dari kendaraan air yang melalui.
(9) Pada waktu menyusul dan akan melalui kendaraan air yang ditunda dari darat oleh kendaraan air lain yang demikian juga, maka kendaraan air yang akan melalui, berlayar di sebelah dalam dan kendaraan air yang dilalui harus mengendurkan talinya pada waktu yang tepat.
(10) Kendaraan air yang disusul diwajibkan memberi ruang cukup pada kendaraan air yang menyusul dan jika menggunakan layar, menurut keadaan mengurangi kecepatannya.
Pasal 15.
(1) Dilarang menghanyutkan kendaraan air dengan arus, jika kendaraan air itu pada tiap saat yang dikehendaki tidak dapat dikemudikan,
(2) Di jalur pelayaran, di mana ada kabel telegram atau kabel telepon, maka pada waktu arus kuat atau banjir, kendaraan air yang isi kotornya berukuran lebih dari 11,32 M3 yang hanyut dengan arus, harus menggunakan jangkar garuk.
Pasal 15a.
Dicabut dg. S. 1939-544.
Pasal 16.
(1) Tiap kendaraan air, yang diwajibkan menyimpang untuk kendaraan air lain, jika keadaan mengizinkan, harus menghindari berlayar memotong haluan dekat kendaraan air lain itu.
(2) Tiap kapal uap yang menurut ketentuan-ketentuaii peraturan ini diwajibkan menyimpang untuk kendaraan air lain, bila mendekatinya, jika perlu, harus mengurangi kecepatan, berhenti atau mundur.
(3) Ketentuan yang ditetapkan dalam ayat tersebut di alas tidak berlaku bagi kendaraan air yang menunda.
Pasal 17.
(1) Kapal-kapal uap yang melihat pada saat saling mendekat satu sama lain kemungkinan bahaya tubrukan, dapat menunjukkan tempat kapal itu sedang bergerak dengan isyarat-isyarat berikut:
satu bunyi pendek berarti: “saya menyimpang ke kanan”.
dua bunyi pendek berarti: “saya menyimpang ke kiri”.
tiga bunyi pendek berarti: “saya mundur dengan daya penuh”.
Pasal 18.
(1) Kapal-kapal uap yang menunda satu atau beberapa kendaraan air harus menggunakan tah penarik yang pendek, danjika kapal-kapal itu datang dari laut, kabel-kabel penariknya harus dipendekkan.
(2) Tiap kendaraan air yang ditunda, diharuskan dengan hati-hati mengemudikan kapal itu untuk dapat menghindari penyimpangan dari arah yang ditentukan.
(3) Menunda kendaraan air di samping hanya dibolehkan dalam jalur pelayaran yang sempit, bila keadaan memang mengizinkan; pada tiap sisi hanya boleh ditarik satu kendaraan air. Untuk hal ini harus diusahakan, agar lampu-lampu kapal yang menunda jelas kelihatan. Bila hal itu tidak mungkin, dapat digunakan lentera-lentera dari dari kapal-kapal yang ditunda.
(4) Kapal uap harus mematikan mesinnya pada waktu masuk dari pinggiran atau menghindari kapal-kapal lain masuk ke laut.
Pasal 19.
(1) Dilarang menempatkan sauh di tengah jalur pelayaran pada tikungan atau jalur pelayaran yang sempit, kecuali dalam hal seperti disebutkan dalam pasal 13 ayat (3).
(2) Kendaraan air yang terpaksa menempatkan sauhnya pada tikungan atau jalur pelayaran yang sempit, harus menjaga supaya tidak membuang barang muatan atau menggunakan kabel-kabel untuk menghindari gerakan yang bolakbalik, dan sedapat mungkin memberikan tempat dijalur pelayaran bagi kendaraan air yang akan berlalu.
(3) Dalam hal tidak menaati ketentuan dalam ayat (1), harus dibuktikan perlunya berlabuh di tempat-tempat yang dilarang, untuk dapat dibebaskan dari tuntutan hukum.
Pasal 20.
Kendaraan air yang tenggelam dan benda-benda pada umumnya, yang ditempatkan di jalur pelayaran, yang menghalang-halangi lalu-lintas pelayaran, jika tidak diangkat oleh mereka dalam batas-batas waktu yang telah ditentukan oleh Pemerintah, diangkat atau disingkirkan oleh Pemeiintah atas biaya pemilik-pemilik. (Peraturan Tubrukan Kapal di Perairan Pedalaman pasal 9; Peraturan Bandar S. 1924-500 pasal 17.)
Pasal 21.
(1) Sejauh mengenai hal ini tidak ada ketentuan-ketentuan lain yang berlaku, maka di tiap kendaraan air yang berlabuh atau ditambat pada pelampung-pelampung, sedikit-dikitnya setengah dari awak kapal harus ada dan di tiap kendaraan air yang dikeringkan atau seluruhnya ditambat di daratan, sedikit-dikitnya satu pelayar atau nakhoda harus ada di kendaraan air untuk menjaganya. (S. 1924-501.)
(2) Ketentuan ini tidak berlaku bagi kendaraan air yang isi kotornya berukuran kurang dari 2,83 m3 dan bagi kendaraan air yang ditambat pada atau yang dikeringkan di tempat sendiri yang dijaga.
Pasal 22.
Dilarang membunyikan isyarat-isyarat bunyi dalain keadaan-keadaan lain dari yang ditentukan atau diizinkan menurut undang-undang.
BAB IV. KETENTUAN-KETENTUAN HUKUMAN.
Pasal 23.
Ayat (1), (2), (3) tidak berlaku lagi.
Pasal 24.
(1) Nakhoda atau orang yang menggantinya tidak dapat dihukum jika ternyata, bahwa ia telah melakukan semua yang mungkin, baik untuk menaati ketentuan-ketentuan peraturan ini, maupun untuk mencegah akibat-akibat pelanggaran ketentuan-ketentuan itu.
(2) Tidak berlaku dengan dihapuskannya pasal 23.
KETENTUAN-KETENTUAN PENUTUP.
Pasal 25.
Isi peraturan ini tidak menghalang-halangi pelaksanaan dari ketentuan-ketentuan khusus, sehubungan dengan pelayaran di pelabuhan-pelabuhan, sungai-sungai dan perairan-perairan pedalaiman atau bagian-bagiannya, yang diboat atau akan dibuat oleh pejabat-pejabat setempat yang berkuasa (Peraturan Tubrukan di Laut pasal 31).
Pasal 26.
Peraturan ini disebut dengan nama “Peraturan Tubrukan Kapal di Perairan Pedalaman”.
Ditetapkan pada tanggal 22 Februari 1914.
Struktur Organisasi pada Kapal
Struktur organisasi kapal terdiri dari seorang Nakhoda selaku pimpinan umum di atas kapal dan Anak Buah kapal yang terdiri dari para perwira kapal dan non perwira/bawahan (subordinate crew).
Struktur organisasi kapal diatas bukanlah struktur yang baku, karena tiap kapal bisa berbeda struktur organisaninya tergantung jenis, fungsi dan kondisi kapal tersebut. Selain jabatan-jabatan tersebut dalam contoh struktur organisasi kapal diatas, masih banyak lagi jenis jabatan di kapal, diluar jabatan Nakhoda.
Misalnya di kapal pesiar ada jabatan-jabatan Bar-tender, cabin-boy, swimming-pool boy, general purpose dan lain sebagainya. Dikapal lain misalnya terdapat jabatan juru listrik (electrician), greaser dan lain sebagainya. Semua orang yang mempunyai jabatan di atas kapal itu disebut Awak kapal, termasuk Nakhoda, tetapi Anak kapal atau Anak Buah Kapal (ABK) adalah semua orang yang mempunyai jabatan diatas kapal kecuali jabatan Nakhoda.
Untuk kapal penangkap ikan masih ada jabatan lain yaitu Fishing master, Boy-boy (pembuang umpan, untuk kapal penangkap pole and Line (cakalang), dlsb.
Nakhoda Kapal
UU. No.21 Th. 1992 dan juga pasal 341.b KUHD dengan tegas menyatakan bahwa Nakhoda adalah pemimpin kapal, kemudian dengan menelaah pasal 341 KUHD dan pasal 1 ayat 12 UU. No.21 Th.1992, maka definisi dari Nakhoda adalah sebagai berikut:
“ Nakhoda kapal ialah seseorang yang sudah menanda tangani Perjanjian Kerja Laut (PKL) dengan Pengusaha Kapal dimana dinyatakan sebagai Nakhoda, serta memenuhi syarat sebagai Nakhoda dalam arti untuk memimpin kapal sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku “ Pasal 342 KUHD secara ekplisit menyatakan bahwa tanggung jawab atas kapal hanya berada pada tangan Nakhoda, tidak ada yang lain. Jadi apapun yang terjadi diatas kapal menjadi tanggung jawab Nakhoda, kecuali perbuatan kriminal.
Misalkan seorang Mualim sedang bertugas dianjungan sewaktu kapal mengalami kekandasan. Meskipun pada saat itu Nakhoda tidak berada di anjungan, akibat kekandasan itu tetap menjadi tanggung jawab Nakhoda. Contoh yang lain seorang Masinis sedang bertugas di Kamar Mesin ketika tiba-tiba terjadi kebakaran dari kamar mesin. Maka akibat yang terjadi karena kebakaran itu tetap menjadi tanggung jawab Nakhoda. Dengan demikian secara ringkas tanggung jawab Nakhoda kapal dapat dirinci antara lain :
Memperlengkapi kapalnya dengan sempurna
Mengawaki kapalnya secara layak sesuai prosedur/aturan
Membuat kapalnya layak laut (seaworthy)
Bertanggung jawab atas keselamatan pelayaran
Bertanggung jawab atas keselamatan para pelayar yang ada diatas kapalnya
Mematuhi perintah Pengusaha kapal selama tidak menyimpang dari peraturan perundang-undangan yang berlaku
Jabatan-jabatan Nakhoda diatas kapal yang diatur oleh peraturan dan perundang-undangan yaitu :
Sebagai Pemegang Kewibawaan Umum di atas kapal. (pasal 384, 385 KUHD serta pasal 55 UU. No. 21 Th. 1992).
Sebagai Pemimpin Kapal. (pasal 341 KUHD, pasal 55 UU. No. 21 Th. 1992 serta pasal 1/1 (c) STCW 1978).
Sebagai Penegak Hukum. (pasal 387, 388, 390, 394 (a) KUHD, serta pasal 55 No. 21 Th. 1992).
Sebagai Pegawai Pencatatan Sipil. (Reglemen Pencatatan Sipil bagi Kelahiran dan Kematian, serta pasal 55 UU. No. 21. Th. 1992).
Sebagai Notaris. (pasal 947 dan 952 KUHPerdata, serta pasal 55 UU. No. 21, Th. 1992).
1. Nakhoda sebagai Pemegang Kewibawaan Umum
Mengandung pengertian bahwa semua orang yang berada di atas kapal, tanpa kecuali harus taat serta patuh kepada perintah-perintah Nakhoda demi terciptanya keamanan dan ketertiban di atas kapal. Tidak ada suatu alasan apapun yang dapat dipakai oleh orang-orang yang berada di atas kapal untuk menentang perintah Nakhoda sepanjang perintah itu tidak menyimpang dari peraturan perundang-undangan. Aetiap penentangan terhadap perintah Nakhoda yang demikian itu merupakan pelanggaran hukum, sesuai dengan pasal 459 dam 460 KUH. Pidana, serta pasal 118 UU. No.21, Th. 1992. Jadi menentang perintah atasan bagi awak kapal dianggap menentang perintah Nakhoda karena atasan itu bertindak untuk dan atas nama Nakhoda.
2. Nakhoda sebagai Pemimpin Kapal
Nakhoda bertanggung jawab dalam membawa kapal berlayar dari pelabuhan satu ke pelabuhan lain atau dari tempat satu ke tempat lain dengan selamat, aman sampai tujuan terhadap penumpang dan segala muatannya.
3. Nakhoda sebagai Penegak Hukum
Nakhoda adalah sebagai penegak atau abdi hukum di atas kapal sehingga apabila diatas kapal terjadi peristiwa pidana, maka Nakhoda berwenang bertindak selaku Polisi atau Jaksa. Dalam kaitannya selaku penegak hukum, Nakhoda dapat mengambil tindakan antara lain :
- menahan/mengurung tersangka di atas kapal
- membuat Berita Acara Pemeriksaan (BAP)
- mengumpulkan bukti-bukti
- menyerahkan tersangka dan bukti-bukti serta Berita Acara
Pemeriksaan (BAP) pada pihak Polisi atau Jaksa di pelabuhan pertama yang disinggahi.
4. Nakhoda sebagai Pegawai Catatan Sipil
Apabila diatas kapal terjadi peristiwa-peristiwa seperti kelahiran dan kematian maka Nakhoda berwenang bertindak selaku Pegawai Catatan Sipil. Tindakan-tindakan yang harus dilakukan Nakhoda jika di dalam pelayaran terjadi kelahiran antara lain :
1. Membuat Berita Acara Kelahiran dengan 2 orang saksi (biasanya Perwira kapal)
2. Mencatat terjadinya kelahiran tersebut dalam Buku Harian Kapal
3. Menyerahkan Berita Acara Kelahiran tersebut pada Kantor Catatan Sipil di pelabuhan pertama yang disinggahi Jikalau terjadi kematian :
1. Membuat Berita Acara Kematian dengan 2 orang saksi (biasanya Perwira kapal)
2. Mencatat terjadinya kematian tersebut dalam Buku Harian Kapal
3. Menyerahkan Berita Acara Kematian tersebut pada Kantor Catatan Sipil di pelabuhan pertama yang disinggahi
4. Sebab-sebab kematian tidak boleh ditulis dalam Berita Acara
Kematian maupun Buku Harian Kapal, karena wewenang membuat visum ada pada tangan dokter Apabila kelahiran maupun kematian terjadi di luar negeri, Berita Acaranya diserahkan pada Kantor Kedutaan Besar R.I. yang berada di negara yang bersangkutan.
Anak Buah Kapal (ABK)
1. Hak-hak Anak Buah Kapal
Hak Atas Upah
Hak Atas Tempat Tinggal dan Makan
Hak Atas Perawatan waktu sakit/kecelakaan
Hak Atas Cuti
Hak Atas Pengangkutan untuk dipulangkan
2. Kewajiban Anak Buah Kapal
Kewajiban-kewajiban Anak Buah Kapal antara lain :
Taat kepada perintah atasan, teristimewa terhadap perintah Nakhoda
Meninggalkan kapal (turun ke darat) harus dengan ijin Nakhoda atau yang mewakilinya
Tidak membawa barang dagangan, minum-minuman keras, dan senjata (api) di atas kapal
Melakukan tugas tambahan atau kerja lembur jika dianggap perlu oleh Nakhoda
Turut membantu menyelamatakan kapal, penumpang, dan muatannya, dalam kecelakaan kapal
Berprilaku sopan, serta tidak mabuk-mabukan di kapal dalam rangka turut menciptakan keamanan dan ketertiban diatas kapal
Peraturan Pengawakan Kapal
Dengan diberlakukannya Amandemen International Convention on Standard of Training Certification and Watchkeeping for Seafarers (STCW) 1995 sebagai penyempurnaan STCW 1978, maka Menteri Perhubungan menetapkan peraturan dalam bentuk Keputusan Menteri Perhubungan No.70 Th.1998 tanggal, 21 Oktober 1998 tentang Pengawakan Kapal Niaga.
Pada BAB.II Pasal 2 ayat (1) dan (2) bahwa pada setiap kapal niaga yang berlayar harus diawaki dengan susunan terdiri dari : seorang Nakhoda, sejumlah perwira, sejumlah rating. Susunan awak kapal didasarkan pada : daerah pelayaran, tonase kotor kapal (gross tonnage/GT) dan ukuran tenaga penggerak kapal (kilowatt/KW). Pada pasal 8 menetapkan dan memperjelas bahwa awak kapal yang mengawaki kapal niaga sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (1) harus memenuhi persyaratan sebagai berikut :
bagi Nakhoda, Mualim atau Masinis harus memiliki sertifikat keahlian pelaut yang jenis dan tingkat sertifikatnya sesuai dengan daerah pelayaran, tonase kotor dan ukuran tenaga penggerak kapal dan memiliki sertifikat ketrampilan pelaut
bagi operator radio harus memiliki sertifikat keahlian pelaut bidang radio yang jenis dan tingkat sertifikatnya sesuai dengan peralatan radio yang ada di kapal dan memiliki sertifikat ketrampilan pelaut
bagi rating harus memiliki sertifikat keahlian pelaut dan sertifikat ketrampilan pelaut yang jenis sertifikatnya sesuai dengan jenis tugas, ukuran dan jenis kapal serta tata susunan kapal.
Langganan:
Postingan (Atom)