STORY

Oleh Achmad Yasir Baeda

“Diaaaannn ….”

Buru-buru Dian bangkit dari himpitan sepupu-sepupunya di sofa depan. Begitu banyak orang yang dilewatinya menuju kamar belakang. Kamar Abah Aki’. Di pintu kamar dilihatnya ayahnya menganggukkan kepalanya, menandakan ajakan untuk masuk. Dian menggigit bibir. Apa gerangan yang akan didapatinya di dalam sana. Setahu dia dan sepupu-sepupunya yang lain, Abah Aki’, sudah sakit sejak lama. Dan tatkala dekat Iedul Adha, sakitnya makin menjadi. Diingatnya, awal sakitnya tahun lalu, juga di saat-saat seperti ini, awal Zulhijjah. Bermula tatkala terjatuh di kamar mandi kala ingin berwudhu. Kemudian orang-orang bilang kalau Abah Aki’ stroke. Waktu itu Dian belum mengerti apa arti stroke. Namun dilihatnya, Abah seperti lumpuh. Tangan dan kaki kanannya tidak dapat digerakkanya seperti dulu tatkala mengayun-ayunkan Dian di pelataran depan. Apalagi setelah itu, Abah Aki’ selalu memberinya dua bungkus coklat Full Milk kesukaannya. Mmhmh .... tapi itu sudah lama. Sudah setahun yang lalu.



Ayah membelai rambutnya yang dikuncir dua.

“Dian masuk ya? Abah Aki’ mau lihat Dian, mau ngobrol dengan Dian”

Dian tidak berkata-kata, hanya mengangguk pelan sambil tetap menggigit-gigit bibir bawahnya. Diterka-terkanya dalam hayal, bagaimana tampang Abah Aki’ sekarang ya? Apa masih seperti waktu dia dan Ibunya datang menjenguk bulan lalu? Berbaring saja dengan nafas mendengkur keras namun mata yang sama sekali tidak terpejam? Atau malah menyambutnya dengan Full Milk kesukaannya kemudian mulai mengayun-ayunnya dengan kaki kanannya yang kuat itu? Dian tetap melangkah masuk, walau angannya entah melayang kemana.

Asa akan Full Milk dan ayunan itu sontak hilang dalam temaram lampu, tatkala dilihatnya Abah Aki’ masih terbaring lemah di ranjang. Namun kali ini tak terdengar dengkuran kerasnya. Atau mungkin tertelan suara Mamah yang mengaji sambil terisak di lantai samping ranjang. Di sisi-sisi ranjang lainnya, ada tante-tantenya, yang juga ikut mengaji. Suasana ini membuat mata Dian ikut berkaca-kaca. Walau tak ada suara tangis keluar dari mulutnya, namun perlahan air mulai menganak dari matanya.

Bermenit berlalu. Dian tetap mematung. Dilihatnya tak ada yang menyadari kehadirannya. Diberanikannya bergerak mendekati ranjang. Diraihnya pelan tangan Abah Aki’ yang tergulai lemah. Telapaknya hangat, walau dingin di ujung-ujung jarinya. Dirasakannya Abah Aki’ menggenggam balik. Pelan namun pasti. Kemudian wajah yang tadinya menghadap lain, kini berbalik perlahan ke arahnya. Abah Aki’ menatapnya. Lamat-lamat. Tatapan itu dirasakan Dian seperti sembilu. Terasa benar beban yang menghantam kepalanya dari mata tua abu-abu Abah Aki’. Dian merasa tangannya ditarik. Didekatkannya kepalanya ke kepala Abah Aki’. Abah Aki’ berbisik. Dian diam mendengar. Lemah namun jelas. Seperti sengaja diukir di dinding jantungnya. Menggurat tegas dan keras. Tak lama, genggaman tangan besar itupun melemah. Sampai akhirnya jatuh terkulai. Kali ini, semuanya berhenti mengaji. Tangis pun meledak. Dian masih diam, terpekur dan akhirnya tergeser sampai ke dinding kamar. Walau sejenak dapat menahan getir, akhirnya Dian lemas juga. Pingsan.



“Yalla yalla ….. “

Teriakan asykar Masjidil Haram membangunkannya dari lamunan. Dian yang sedari tadi bergerak tawaf wada bersama suaminya melirik ke kiri. Bayangan orang itu masih ada. Bayangan sekilas sangat mirip dengan Abah Aki’. Bayangan yang membuatnya mengenang masa-masa akhir hidup Abah Aki’. Bayangan yang akhirnya membuatnya terbawa gerakan jamaah lainnya yang kemudian memisahkannya dengan suaminya. Diingatnya lagi, tatkala selepas penguburan Abah Aki’, orang-orang mulai bertanya macam-macam padanya. Tante Yuni, Mang Adil, Kang Juji’ sampai Mamah.

“Eh Dian, apa teh yang dibisikkan Abah ke kamu? Beritahu Mamah ya?” Namun Dian menjawabnya dengan gelengan. Berkali-kali Mamah dan Ayahnya bertanya, Dian tetap menggeleng.

Pertanyaan itu terus menerus mengalir ke telinganya. Tanpa kenal waktu, tempat dan orang. Sampai-sampai orang yang sementara belanja di warung sebelah juga sempat bertanya soal bisikan Abah Aki’ itu padanya. Namun Dian tetap menggeleng. Dan menggeleng. Dan terus menggeleng.

Karena sikapnya itu, akhirnya tak ada lagi yang mau bertanya. Perlahan kejadian itu akhirnya dilupakan. Sampai Dian bosan sendiri, karena tak ada lagi yang bertanya.

Suatu ketika, tatkala hampir lulus SMP, Dian sempat bertanya ke ibunya.

“Mah, dulu waktu Abah Aki’ meninggal, kok Dian ditanyain terus soal bisikan Abah Aki’ ke Dian. Kenapa orang-orang itu nanyain itu yah?”

Mamahnya tersenyum menoleh.

“Orang-orang itu mau dapat wangsit dari Abah Aki’”

“Berarti Mamah mau juga dong?”

“Yah, pastilah. Abah Aki’ kan abah Mamah. Siapa tahu ada pesan Abah yang sebenarnya mestinya disampaikan ke anak-anaknya tapi akhirnya disampaikan ke Dian”

“Kenapa mesti Dian yang dibisikin Mah?”

“Ya karena Dian kan yang paling dekat dengan Abah saat itu. Jadi dengan nafas-nafas terakhir, Abah hanya bisa mendekat ke Dian. Apa sih yang dibisikin Abah Aki’ ke Dian?”

Dian kaget. Ditatapnya wajah Mamahnya tajam. Dian pun kembali menggeleng. Lagi dan lagi. Seperti dulu.



Dian kembali tersadar. Iring-iringannya sudah kembali mendekat Hajar Aswad. Dilihatnya kali ini posisinya semakin dekat ke dinding Ka’bah. Bayangan orang itu masih ada. Seperti magnit, badannya mengikuti arah langkah menuju ke kiri tajam. Tangan suaminya sudah sejak dua putaran lalu tak lagi digenggamnya. Dorongan ke kiri semakin kuat. Diliriknya lagi ke arah bayangan itu. Dian kaget. Bayangan itu hilang, terganti dengan tatapan sangar dua asykar yang menjaga di kiri kanan Hajar Aswad, yang terus menerus mengibaskan tangannya dan memberikan jalan padanya mendekat.

“Yalla …. Yalla ……., tafaddal ya hajjah …. Tafaddal”

Ya Allah, Dian terhenyak. Abah Aki’ berdiri di samping Hajar Aswad. Tersenyum sambil mengangkat kedua tangannya seakan mempersilakannya menuju batu hitam itu. Dian melangkah cepat. Diingatnya akan langkah-langkahnya menuju ranjang Abah Aki’ puluhan tahun silam. Langkah yang terdorong kekuatan batin yang luar biasa dahsyatnya. Direngkuhnya tangan Abah Aki’. Namun yang digenggamnya ternyata adalah pinggiran perak Hajar Aswad. Masih dengan dorongan yang sama, wajahnya bergerak mendekat. Diciumnya batu hitam itu dengan mata terpejam. Terasa tubuhnya meringan kemudian melayang, tak menjejak lagi. Sembari terbang, diingatnya kembali bisikan Abah Aki’ ditelinganya.

“Sampaikan salam Abah untuk Allah ya? Hanya untuk Allah”

Dianpun tersenyum puas.



Saijo-Hiroshima, 19 Desember 2008
La Tore

1 komentar: